NGENTOT BU TARI
Kejadiannya
13 tahun yang lalu, saat aku masih kuliah disebuah kota S di P. Aku mempunyai
teman satu angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu
lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering
bersama. Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yon si anak “bocor” tapi baik
hati itu tinggal dirumah tantenya (yang biasa aku panggil Ibu Tari) yang hanya
punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan
langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, dalam suatu perkawinan,
terus diboyong ke Jakarta.
Tinggallah Ibu Tari ini bersama
suaminya yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan
sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala
karena jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di
luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan
Yon biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta
dibukakan pintu.
Ruang yang dia minta dan bangun
adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur
interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang
akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar
aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja.
Seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di
rumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya
lagi ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan
sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku aku seperti
manusia merdeka.
Tapi hari itu, entah karena bujukan
mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka
padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan perjanjian
bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran
kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang memang kaya itu.
Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Tari ini rumah kostku yang kedua,
sebelumnya sering juga aku menginap dan nongkrong hampir setiap hari di sini.
Ada satu hal sebenarnya yang ikut
juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk tinggal di
rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu
yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan
dengan Bu Tari. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu.
Buatku Ibu Tari bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang
melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang
luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu Ibu Tari masih punya
bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya
suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan
bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali
saja.
Gejala apa ini, apakah wajar aku
terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi
bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak
punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku
kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya Ibu Tari memiliki
semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Di bawah sadar sering aku
diremas-remas iri dan cemburu jika melihat Ibu Tari berbincang mesra atau
melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!
Selama aku tinggal di rumah Bu Tari
itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tak
ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja.
Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.
Di suatu malam dari balik jendela
kamarku kulihat beberapa kali Ibu Tari keluar masuk rumah dengan gelisah
menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam
sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah,
membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan
ini Ibu Tari begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering
kali getir dan terpaksa.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk
pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan
dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang
di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika Bu Tari meledekku
membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya aku tekuk.
Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi.
Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja
yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah,
pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk
dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua
yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.
Setelah selesai, sejenak Bu Tari
hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong.
Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk di sampingku. Mukanya
yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya
belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan
kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi.
Seperti ingin to the point saja, Bu Tari menceritakan masalah dengan suaminya.
Seperti
kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka.
Hubungan Bu Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh
kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan
setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan
kewajiban saja. Bu Tari berada di dalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja
membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima
keadaan.
Entah karena kesepian, butuh orang
sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Tari menceritakan
bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan
menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga
kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan
istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu
Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri
pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan
suaminya sendiri, demi keamanan, “nama baik” dan jabatan. Biar si suami tidak
asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau
tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa
saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang
mencarikan selir untuk suaminya sendiri.
“Dia ingin punya anak laki-laki Win
(Win nama palsu saya)” Begitu ucap Bu Tari malam itu. Matanya mulai
berkaca-kaca. Dulu Bu Tari memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak
laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya
satu anak saja.
“Apakah itu alasan yang wajar Win”
Ucapnya lagi.
Kedua tangannya memegang tangan
kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa
kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata
aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Diluar dugaanku, tangis Bu Tari
malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Aku bingung,
tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga
akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Tari malah membenamkan wajahnya
ke dadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya
agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.
Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu
Tari menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut
tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu
Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk
menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Tari hanya diam
setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.
“Ibu bahagia sekali win kamu mau
tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yon.
Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah
sebesar ini” Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung.
“Kenapa Ibu baru menceritakannya
sekarang?” Ucapku.
“Untuk apa?” Ucap Bu Tari
menggeleng-geleng.
“Setidaknya beban Ibu dapat
berkurang”.
“Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Yon
ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di
rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang
pada kalian”. Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya
dengan meremas jari jemarinya pelan.
“Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya
Bu Tari menatapku.
Aku menggangguk tersenyum. Bu Tari
tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku,
mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise
tapi diam saja.
“Bu Tari marah?” tanyaku.
Dia menggeleng-geleng dan malah
balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan
tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling
berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya
suara motor Yon yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara
pintu gerbang terbuka.
Sejak kejadian malam itu hubunganku
dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan
rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau
dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan
semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih
dari dulu-dulu.
Tapi seperti air yang tak diatur,
semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Tari dan aku berani saling mencium.
Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi
kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering aku bertanya sendiri
sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari apakah manifestasi
seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan.
Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu
menjengkelkan.
Semua itu berjalan sampai tak dapat
kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu
Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang
sepi.
Semula aku hanya ingin meminjam
koran yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat
Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku
ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan
tanganku dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku
menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga.
Kukendorkan tanganku.
“Wiinn kamu bikin kaget ibu saja
akh..” Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan
dadanya. Bu Tari bersandar di dadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya
yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir di darahku. Sementara Bu Tari
terus mengomentari ikan-ikan di dalam aquarium, aku justru memperhatikan
bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu
tertarik ke atas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat
kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku
akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku
dengan genit.
“Hii. Jangan Wiinn akhh…, Merinding
Ibu ah”
Dekapan
tanganku di payudara dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak
marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas
cukuran di janggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan
mencengkram erat di kedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman,
kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Tari
mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya
terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar
tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu
Tari. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi
bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku.
Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya
lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan
lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu
Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock
dia berkata, “Ya Tuhan, Wiinn…, apa yang kita lakukan?”
Bu Tari menjauhiku dan menempelkan
kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian
gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Tari, memeluknya lagi.
Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Tari
bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan
tangis.
Beberapa hari sejak kejadian itu Bu
Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut
dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost
sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula.
Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada
suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa
bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya
sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku
tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia
sayang, merindukan dan membutuhkanku.
Selanjutnya kami selalu berusaha
bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa
kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku
beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa
terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari Bu Tari aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong
itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan.
Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan
bersetubuh denganku. Gila. Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti.
Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi
rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga kami yang tinggal
6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung
nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada
pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima tamu. Pak Bagong
akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Tari akan berkebaya,
berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Tari sendiri tahu
bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku
atas kecantikan dan seks apple yang ditimbulkannya.
Rasanya aku gelisah terus melihat
kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika
berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar
pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda,
entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku
pingin marah saja rasanya.
Tetapi sebelum seremoni perkawinan
itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil Mbak Suti
datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan
adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak
Bagong, Bu Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak
Falcon.
Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu
Tari menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong
bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis
antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai
anak tertua di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yon sendiri ingin
ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali.
Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap
tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan
audit di kantornya. Ibu Tari key person yang harus ada.
Pak Bagong dan Yon berangkat ke kota
P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk
diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya. Sampai
Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari
busungnya dada Bu Tari dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu
Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah
justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.
“Sudahlah sana tidur kalau ngantuk,
aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai kok”
Ucapnya. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan,
pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.
Mbak
Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri,
melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas
berpelukan, berciuman, saling tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru
dan berujung orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan
menggesek-gesek di vaginanya yang basah di celana. Entah berapa kali spermaku
membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun
penisku belum pernah sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya
menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku?
Langkah Bu Tari terdengar dan terus
kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai
kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada hingga
perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.
“Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini
apaan sih?”, ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan di mukaku.
“Ibu cantik sekali, makin seksi,
seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk ke
penisku.
“Hus. Sekali, sekali. Daripada
melamun sini pijitin Ibu”, Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk
pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat
keenakan.
Makin lama pijitanku makin turun, ke
punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kutarik
pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke
pipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai
ke pinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua
tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada
yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan
kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Tari mulai tak
teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih
kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku. Telapak tangan kirinya digosok-gosokan
kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk
menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan
sepertiga buah dada dari BH-nya indah sekali. Aku makin terangsang. Penisku
yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. Kutarik baju kebayanya turun ke
belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Tari
mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu
Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung
lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke
rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.
Aku dan Bu Tari mulai tak tahan,
kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut
paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu
Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.
“Jangan disini sayang. Nanti kalau
Suti bangun…” Tiba-tiba ucap Bu Tari tak menyelesaikan kalimatnya. Kami
berdiri. Bu Tari melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana
dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.
“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku
masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu
membuat kami tertawa.
Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat.
Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari
penisku. Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap,
diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia
lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya
isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin memasukan penisku
langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak. Badanku rasanya makin bergetar dengan
tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku rasanya kelojotan
nikmat. Bu Tari begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku di mulutnya
Aku tak tahan dan minta rebahan di
ranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain
jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai
dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap. Aku makin bergelinjang,
melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya
kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh…, crott…, croot…, Crroott. Spermaku
muncrat di dalam mulut Bu Tari. Tapi Bu Tari justru malah bernafsu, menelannya
dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. Aku
terkejut. Bangun terduduk.
“Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?”,
Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya
cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.
“Orang bilang, meminum air mani
perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang
Ibu sudah mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka
sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.
“Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu
puas” Ucap Bu Tari mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma
dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan
menghisap-isap penisku.
“Kalau Ibu masih pingin, ambil semua
sperma Saya” Ucapku, Ibu Tari tersenyum.
Kubuka BH-nya dan kutarik lilitan
kain jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya
yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua
payudaranya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku
menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian
yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga,
leher, payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak
kakinya. Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan.
Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya dan tangan kanannya menggosok-gosok
vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir terlepas. Mulutku naik lagi ke
atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan
kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang
memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan
lembut, bau divaginanya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bau seperti
ini yang pernah kukenal rasanya.
Dengan hidung kugesek-gesek belahan
vagina Bu Tari sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya
terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan.
“Aakhhk…, eekhh…, nikmat sekali
sayang. Teruuss sayang”, Rintih Bu Tari.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit
vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku
menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat
reaksi Bu Tari.
“Akkhh…, Akkhh…, Akkhh…, Engghh” Bu
Tari terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas
jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas
payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas
payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku
mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.
“Akkhh…, sudah Sayang…, sudah…, ayo
sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh…, masukan sayang, masukan” Desah Bu
Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan minta
disetubuhi. Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku
merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari. Bu Tari melebarkan pahanya. Penisku
menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal.
Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya belahan vagina. Tapi
tangan Bu Tari segera membantu, memegang penisku, membimbing ke depan lubang
vaginanya lalu berkata “Ya itu Sayang…, disitu…, tekan Sayang tekan…, disitu…,
aakkhh…, ayo Sayang…, Ibu tak tahan…, oo.., akkhh” Ibu Tari merintih ketika
penisku yang kutekan masuk seluruhnya ke lubang vaginanya. Sejenak tubuhku
kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding
vagina Bu Tari yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar
biasa. Ini yang pertama.
Bu Tari menggoyang-goyangkan
pinggulnya, setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang
tertancap di vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang
membuatnya nikmat tak karuan.
“Ayo Sayang…, ayo…, bareng-bareng
Sayang… Ibu mau keluar Sayang…, ayo…, ayo..” Rintih Bu Tari dengan mata
setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat
menggoyang-goyangkan pinggulnya. Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba
Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan
dari mulutnya keluar desahan panjang. “Aakkhh…, Oukhh…, Engkhh…”, Bersamaan
dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Tari makin kuat dan
nikmat rasanya. Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar spermaku segera
keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan
terus hingga akhirnya croott…, croott…, crroot. “Akhh…” Bersamaan dengan
muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu Tari mendesah nikmat. Napasku
memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Tari tetap menggoyang-goyangkan
pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.
Beberapa saat kubiarkan tubuhku
menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku.
Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya.
“Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya,
peluk…, peluk…, tetap tindihlah Ibu sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?..,
nikmat sayang?..” Ucap Bu Tari sambil terus menciumiku.
Malam itu kami habiskan tidur sambil
berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan bersetubuh dengan suaminya.
Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula Bu Tari
di ranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan
bersetubuh dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya sekedar
membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya. Kami baru
bersetubuh di hotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara
kesempatan di rumah tak ada. Atau ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan
Bu Tari dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh,
berlama-lama Bu Tari ke salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan
kuacak-acak sampai berantakan. (Aneh ya?!).
Sering pula jika keadaan
memungkinkan, Bu Tari suka menyelinap ke kamarku untuk “fast sex”. Seks cepat
dengan tetap masih berpakaian. Tandanya, Bu Tari masuk ke kamarku sudah tanpa
celana dalam dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang butuh
tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.
Tentang vagina Bu Tari, mungkin itu
yang disebut vagina empot ayam. Vagina yang tak pernah kutemui pada semua
perempuan (adik-adik, Mbak-Mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda
maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37
tahun.
BalasHapus✔ Www.TokoPembesarPenis.Com
✔ Alat Pembesar Penis
✔ Kesehatan Kecantikan
✔ Minyak Pembesar Penis
✔ Obat Kuat Sex Pria
✔ Obat Pelangsing Badan
✔ Obat Pembesar Penis
✔ Obat Penggemuk Badan
✔ Obat Penyubur Sperma
✔ Pembesar Payudara
✔ Selaput Dara Buatan
✔ Sex Toys Pria
✔ Sex Toys Wanita
✔ VigRx Plus Pembesar Penis
✔ Vimax Canada Asli Obat Pembesar Penis
✔ Obat Kuat Viagra
HOTLINE CALL/SMS ; 085 712 207 772 (I-sat) PIN BBM : 2B9E676B
BalasHapusBONEKA FULL BODY
KONDOM KEPALA NAGA
KONDOM SAMBUNG JUMBO
KONDOM ULTIMATE LOVE SLEEVE
VAKUM PEMBESAR PENIS
OBAT KUAT MAXIMUM POWERFUL
PEMBESAR PENIS NEOSIZE XL
VigRX OBAT PEMBESAR
OBAT BIUS SPRAY
PERANGSANG SEX DROP
VAGINA GETAR GOYANG SUARA
OBAT BIUS HIRUP
OBAT BIUS CAIR LIQIUD SEX
VIMAX OBAT PEMBESAR PENIS
OBAT BIUS TRIVAM
PENIS MUTIARA
VAGINA BABY PUSSY
OBAT PERANGSANG VIAGRA CAIR
VIBRATOR LIDAH HOT
RING CINCIN MUTIARA SILIKON
VIBRATOR LIPSTIK